[Oleh: Adam Mohammad Homsyah]
Bismillaahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillah kita panjatkan puji syukur kehadirat Illahi Rabbi bahwasanya kita masih diberikan nikmat usia serta nikmat iman sehingga kita dapat bersua kembali dalam blog sederhana dari Al-Faqir ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam, kepada para keluarganya, para shahabatnya, hingga kepada kita selaku umatnya. Aamiin!
Pada kesempatan kali ini Al-Faqir akan mencoba berbagi ilmu berkenaan Qadha dan Qadar. Telah kita maklumi bersama bahwa pembahasan Qadha dan Qadar ini memiliki ragam penafsiran. Namun terlepas dari itu semua, penulis akan mencoba berbagi ilmu Qadha dan Qadar yang penulis pahami dari Kitab Nizham Al-Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani memisahkan Qadha dan Qadar sebagai dua komponen yang berbeda. Pertama-tama yang harus dipahami bahwa manusia hidup di dalamnya. Area pertama yakni area yang menguasai manusia , area kedua yakni area yang dikuasai oleh manusia. Bagaimana maksudnya?
Area pertama, area yang menguasai manusia dan manusia tidak memiliki andil sedikitpun. Dalam area ini Syaikh Taqiyuddin membagi menjadi dua bagian berkenaan kejadian-kejadian yang menimpa manusia.
Pertama, kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud (Sunatullah). Yakni, kejadian yang manusia manusia dipaksa tunduk kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai ketentuannya dan manusia tidak bebas memilih. Misalnya, manusia datang dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya, manusia tidak dapat memilih dalam kondisi apa ia dialhirkan, manusia tidak dapat memilih bagaimana keadaan fisiknya ketika dilahirkan. Itu semua mutlak diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikitpun dari hamba-Nya.
Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh nizhamul wujud, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, yang tidak akan mampu dihindari dan tidak terikat dengan nizhamul wujud. Yakni, kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Misalnya, seseorang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja justru mengenai seseorang hingga mati.
Area kedua, area yang dikuasai oleh manusia. Area ini berada di bawah kekuasaan manusia dan semua perbuatan ataupun kejadian yang muncul berada dalam lingkup pilihannya sendiri. Misalnya, manusia mau memilih pekerjaan halal atau haram, memakan makanan halal atau haram, memilih berlari atau berjalan, dan kejadian semacamnya merupakan area yang dikuasai oleh manusia.
Segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan qadha (keputusan Allah), sebab Allah-lah yang memutuskannya tanpa andil manusia. Karena itu, seorang hamba tidak dimintai pertanggung jawaban atas kejadian ini, betapapun besar manfaat ataupun kerugiannya, disukai atau dibenci, meski kejadian tersebut mengandung kebaikan ataupun keburukan menurut tafsiran manusia.
Adapun qadar, Syaikh Taqiyuddi An-Nabhani menguraikan bahwa semua perbuatan baik yang berada pada area yang menguasai manusia maupun area yang dikuasai oleh manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa benda, baik benda itu berupa unsur alam semesta, manusia, maupun kehidupan. Allah subhanahu Wa Ta'ala telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentu pada benda. Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar, sedangkan kayu terdapat khasiat terbakar, dan seterusnya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Apabila suatu waktu khasiat ini melanggar nizhamul wujud, maka itu karna Allah Subahanhu Wa Ta'ala telah menarik khasiatnya. Tetapi hal ini adalah sesuatu yang berada di luar kebiasaan dan hanya terjadi bagi para Nabi yang menjadi mukjizat bagi mereka.
Seperti halnya khasiat yang terdapat pada benda, maka pada diri manusia telah diciptakan pula berbagai gharizah (naluri) serta kebutuhan jasmani. Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, gharizah nau' (naluri mempertahankan keturunan) telah diciptakan khasiat dorong seksual. Begitupun dalam kebutuhan jasmani tekah diciptakan khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya. Dalam potensi naluri, terdapat tiga naluri yang melekat pada diri setiap manusia. Yakni, naluri berkasih sayang (gharizatun nau'), naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa'), dan naluri mensucikan sesuatu (gharizatun taddayun).
Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah. Bisa juga digunakan untuk berbuat kejahatan bila melanggar perintah dan larangan Allah. Baik itu dilakukan dengan menggunakan khasiat-khasiat yang terdapat pada benda, atau dengan memenuhi dorongan naluri dan kebutuhan jasmaninya.
Perbuatan itu menjadi baik bila sesuai dengan perintah dan larangan-Nya, dan sebaliknya menjadi jahat apabila bertantangan dengan perintah dan larangan-Nya. Misalnya, seseorang menggunakan golok yang tajam untuk menyembelih hewan qurban dengan tata cara sesuai tuntunan rasul, maka dia telah menggunakan khasiat tajamnya golok tersebut sesuai perintah Allah. Berbeda ketika seseorang menggunakan khasiat tajam pada golok untuk melukai orang lain dengan maksud jahat, seperti begal dan sebagainya, maka dia telah menyalah gunakan khasiat tajam pada golok dan melanggar perintah serta larangan Allah.
Penulis akan mencoba menyederhanakan semua pembahasan di atas dengan analogi singkat.
Adam merupakan seorang anak yang dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki, berkulit sawo matang, lahir di Bandung. Inilah area yang menguasai manusia yang ditentukan oleh nizhamul wujud. Adam tidak dapat memilih lahir dengan jenis kelamin apa, fisik seperti apa, lahir dimana, dan sebagainya.
Adam bermain bola, Adam menendang bola tersebut ke arah gawang. Namun bola tersebut justru melaju ke arah gerobak pedagang bubur, sehingga kaca gerobak tersebut pecah. Inilah area yang menguasai manusia namun tidak ditentukan oleh nizhamul wujud.
Saat hendak menendang bola, Adam memiliki pilihan, apakah mau menendang dengan keras atau pelan, meniatkan memasukan bola ke gawang, atau justru memang berniat dan sengaja menendang bola ke arah gerobak tukang bubur. Inilah area yang dikuasai manusia.
Khasiat bola adalah keras, khasiat tendangan adalah menghantarkan bola ke suatu tempat, khasiat kaca adalah mudah pecah. Inilah yang dinamakan khasiat pada benda.
Setelah bermain bola Adam merasa haus, Adam memenuhi rasa hausnya tersebut dengan membeli air mineral di warung. Berbeda dengan Homsyah yang memenuhi rasa hausnya dengan mencuri air mineral di warung yang sama. Inilah yang dimaksud khasiat atau potensi yang terdapat pada manusia. Adam memenuhi rasa haus yang merupakan kebutuhan jasmaninya sesuai syariat Allah, sedangkan Homsyah memenuhi rasa hausnya bertentangan dengan syariat Allah.
Semoga dengan penjabaran ini, kita dapat memahami qadha dan qadar dengan baik dan benar. Sebab pemahaman yang salah akan melahirkan pengamalan yang salah pula. Seperti halnya pemahaman yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia besertanya amal perbuatannya, sehingga menjadi legalitas bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Padahal Allah tidak memaksa seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Mana mungkin Allah mengharamkan pencurian, tapi Allah mentakdirkan seseorang menjadi seorang pencuri.
Wallohu A'lam Bish-shawab!
0 Response to "Qadha dan Qadar"
Post a Comment